Monday, May 28, 2007

Mengenang Setahun Gempa Yogya

Tangan Tuhan di Tengah Bencana

Gempa 5,9 skala Richter yang meluluhlantakkan wilayah DIY dan sebagian kabupaten Klaten, Jawa Tengah, 27 Mei lalu, tidak hanya menyisakan duka mendalam, tetapi juga cerita-cerita keajaiban tengan Tuhan yang menyelamatkan hamba-hamba yang dikehendakinya.

Hari masih pagi ketika pesantren Al-Imam, Wonokromo, Pleret, Bantul, tampak rapi dan penuh hiasan warna warni. Hari itu Nyai Hj. Istijabah, sesepuh pesantren, akan menyelenggarakan acara ngundhuh mantu salah satu kemenakannya. Maka semua pengajian diliburkan dan seluruh santri dikerahkan untuk membantu perhelatan tersebut.


Namun, ketika taplak meja baru saja digelar dan makanan baru saja dimasukkan kotak tiba-tiba bumi bergetar hebat. Kontan saja barisan meja kursi terjungkal, mengiringi runtuhnya dinding timur asrama pesantren. Antara kaget dan terkesima para seluruh penghuni pesantren berhamburan keluar. Menyusul kemudian separuh bangunan mushala, yang sedianya akan menjadi lokasi pelaminan, ikut luruh ke bumi. Jerit ketakutan dan pekik takbir segera saja terdengar bersahutan.

Meski tak sampai satu menit, murka alam pagi itu telah merubah 70 persen bangunan pesantren yang telah berusia lebih dari 90 tahun itu menjadi puing-puing. Para santri terbengong-bengong melihat kamar dan barang miliknya tertimbun reruntuhan asrama. Beruntung dalam musibah nasional tersebut tidak ada satu pun keluarga pesantren yang menjadi korban.

Isak tangis semakin deras ketika tak lama kemudian rombongan besan dari Purworejo tiba di lokasi resepsi. Mereka terbengong-bengong melihat keadaan tuan rumah yang berantakan. Bahkan ketika turun dari mobil, para tamu sempat disambut gempa susulan yang cukup besar. Meski keadaan pesantren luluh lantak, acara ngundhuh mantu hari tetap berlanjut. Dengan sisa jamuan yang masih bisa diselamatkan, para tamu itu diterima di halaman pesantren, di bawah rindangnya pohon durian.

Hingga saat ini, keluarga Nyai Hj. Istijabah masih tinggal di tenda darurat yang didirikan di halaman pesantren. Di tenda itu pula keluarga ndalem lainnya memasak dan beristirahat, sambil menanti kepastian bahwa keadaan telah aman.

Masih di desa yang sama, pagi itu seluruh santri Pondok Pesantren Fadlun Minallah yang diasuh K.H. Muhammad Katib, baru saja mengakhiri pengajian kitab kuning mereka, ketika tiba-tiba alam bergoyang dahsyat. Sebagian santri yang mengaji di aula bawah segera bisa keluar ruangan. Namun tidak demikian halnya dengan separuh santri lainnya yang mengaji di lantai dua. Dinding lantai dua roboh tepat di atasa satu-satunya tangga yang menghubungkan dengan lantai dasar.


Sebatang Bambu
Mereka kebingungan karena untuk melompat ke tanah tentu tidak memungkinkan mengingat bangunan yang belum lama direnovasi itu cukup tinggi. Ketakutan semakin memuncak ketika dinding depan juga mulai retak dan miring ke arah luar. Beruntung, dalam keadaan panik beberapa orang pengurus berinisiatif mengambil sebatang bambu yang cukup panjang dan menyandarkannya ke dinding belakang yang masih tegak berdiri. Melalui salah satu jendela kelas, satu persatu santri dan ustadnya melorot turun.

Seluruh santri yang berjumlah 150an anak itu selamat. Namun efek traumatiknya masih terasa hingga kini. Tak satupun santri yang berani di tidur di dalam ruangan. Bahkan para santriwati mendirikan tenda-tenda darurat di tengah kebun milik pesantren. Dalam gempa kemarin, Desa Wonokromo satu kehilangan 24 orang warganya yang meninggal karena tertimpa reruntuhan rumah mereka.

Pondok Pesantren lain yang ikut menjadi korban adalah Pondok Pesantren Al-Mahally, Brajan, Pleret, Bantul. Dalam insiden lalu hampir seluruh bangunan pesantren yang didirikan oleh almarhum KH. Abdul Mujab Mahalli itu luluh lantak. Belum jelas berapa korban jiwa yang jatuh.

Kisah menarik terjadi di sekitar pesantren, tepatnya di kediaman H. Dalwari, pemimpin Kelompok Bimbingan Ibadah Haji Muslimat NU Yogyakarta. Sejak hari Kamis sebelumnya, Keluarga H. Dalwari menggelar hajatan pernikahan putrinya, Siti Muharrarah dengan Imam Suhrawardi dari Pesantren Lempuyangan Yogyakarta.

Pesta pernikahan digelar selama tiga hari berturut-turut. Hari pertama bos persewaan peralatan pesta HDWR itu mengadakan pengajian. Esoknya ia menggelar kesenian rakyat dan campursari. Sementara hari ketiga, Sabtu 27 Mei 2006, rencananya akan diadakan semaan Al-Quran 30 Juz dan ditutup dengan pengajian khatmil quran.

Pagi itu, usai shalat subuh H. Dalwari yang semalaman begadang menemani para tamu, pun beranjak tidur di kamarnya. Sementara putra-putri lainnya ikut menyimak pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran di panggung yang didirikan di halaman rumahnya yang baru saja dimulai. Istri Dalwari sendiri sedang berada di bagian lain rumahnya.

Belum lagi semaan Al-Quran mencapai satu juz, tiba-tiba tempat itu bergoncang hebat. Beberapa detik kemudian rumah alumnus pesantren Banjarsari, Magelang itu runtuh. Beruntung saat itu sebagian besar anggota keluarga berada di luar. Sebagian lainnya masih sempat menyelamatkan diri keluar, kecuali H. Dalwari sendiri yang tengah terlelap tidur di kamar dan tiga orang anak terkecilnya, Siti Anikoh (8 th), Lulu’ (5 th) dan Haizuddin (6 bulan).

Orang-orang yang berada di lokasi pun panik melihat rumah besar itu nyaris rata dengan tanah. Dengan peralatan seadanya putra-putra H. Dalwari dibantu para pegawainya berusaha membongkar puing-puing. Sementara ibu dan saudara-saudara perempuan lainya berteriak-teriak histeris memanggil nama H. Dalwari dan ketig anaknya.

Ajaib. Dari sela-sela reruntuhan tiba-tiba muncul Anik dan adiknya, Lulu, yang merangkak keluar. Keduanya selamat, tak kurang suatu apapun. Tak lama kemudian si bungsu Haizuddin juga ditemukan tengah merangkak di sela-sela puing reruntuhan mencari jalan keluar. Tinggal sang Bapak yang belum ditemukan.

Ternyata dari sela-sela jendela terlihat H. Dalwari masih tertidur nyenyak di satu-satunya kamar yang masih utuh. Setelah teriakan tak juga bisa membangunkan tokoh yang dengan rutin menyediakan perlengkapan Majelis Semaan Al-Quran Mantab Yogykarta tersebut, akhirnya diputuskan untuk menjebol terali besi di jendela kamar. Baru setelah tubuhnya digoyang-goyang dengan keras H. Dalwari terbangun dan kebingungan melihat rumahnya tingal puing-puing.

Sedang Bersujud
Peristiwa Ajaib lain terjadi di Pondok Pesantren Darul Muhibbin, Slegre’an, Wedi, Klaten. Ketika itu keluarga K.H. Sarmanto tengah berada di tempat terpisah. Sang ayah beserta menantu laki-lakinya tengah berdzikir di salah satu kamar. Sementara Bu Sarmanto dan salah satu putranya, Rahmat Agung Nugraha, tengah berada di mushala yang berada di depan rumah.

Di kamar lain terdapat Nur Saadah, istri Agung, yang sedang membaca Al-Quran sambil menjaga bayinya, dan Mufidatul Khairiyah, adik Rahmat Agung, yang tengah meninabobokan bayinya. Dua anak lain Saifudin Sunaryo sedang keluar dan si bungsu Adnan tengah belajar di Hadramaut.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh getaran bumi yang semakin lama semakin kencang. Agung dan ibunya bisa langsung keluar dari mushala yang tak berpintu itu dengan mudah. Begitu juga dengan Mufidatul Khairiyyah dan bayinya, yang segera ditolong oleh sang suami yang meninggalkan dzikirnya.

Namun tidak demikian dengan Sarmanto, Nur Sa’adah dan bayinya. Pak Sar, demikian sang bapak biasa disapa, tidak mengira gempa pagi itu akan meruntuhkan bangunan pesantrennya yang belum lama dibangun. Ketika atap rumah mulai berguguran dan menutupi pintu kamar, ia baru sadar tak mungkin lagi keluar dari kamar. Maka dengan penuh kepasrahan ia mendirikan shalat di kamar yang mulai runtuh.

Ketika jenazahnya berhasil dievakuasi keesokan harinya, jenazah Kiai Sarmanto ditemukan dalam posisi bersujud dengan seuntai tasbih di tangannya. Menurut kesaksian santri-santri K.H. Adib Zaen, Solo, yang diperbantukan untuk mengevakuasi korban, saat ditemukan tubuh pria yang gemar silaturahmi itu masih tetap lemas dan segar.

Sementara Nur Sa’adah yang terkejut ketika mendadak atap kamarnya runtuh, dengan reflek segera berlutut di atas tubuh bayinya. Tubuh ibu dan anak itu pun segera tertimbun puing-puing yang runtuh dengan deras. Namun rupanya Allah belum menghendaki keduanya mati. Begitu gempa reda, Agung, sang suami, dengan tangan kosong berusaha menggali puing-puing kamarnya. Semangatnya semakin kuat setelah dari sela-sela puing terdengar tangisan anaknya.

Usahanya berhasil. Reruntuhan yang menutupi tubuh istri dan anaknya sedikit demi sedikit terkuak. Dan sungguh ajaib. Setelah terkubur lebih dari satu jam, wanita hafizhah itu selamat, beserta putrinya. Hanya ada sedikit luka lecet di tangan Nduk Dah, putri Kiai Masrokhan, Brabo, Grobogan tersebut. Selain kedua orang itu, ada beberapa anggota keluarga lain yang menderita patah tulang cukup parah sehingga harus dilarikan ke Rumah Sakit Kustati, Solo.

Pesantren lain yang mengalami kerusakan cukup serius akibat gempa 27 Mei lalu adalah Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Beberapa bangunan bersejarah milik pesantren, seperti bagian depan masjid lama yang terletak di Komplek Al-Munawwir dan beberapa bagian komplek asrama santri. Dan karena musibah itu terjadi pada jam mengaji, seorang ustadz yang tengah mengajar meninggal dunia tertimpa kuda-kuda (blandar) atap pesantren.

Hingga berita ini diturunkan jumlah korban gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah telah menembus angka 6000 orang meninggal dunia dan puluhan ribu luka-luka. Satu lagi episode kelam dalam rantai kehidupan bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya, yang semoga akan menambah gurat kearifan dalam menjalani keberlangsungan hidup. (Kang Iftah, liputan 29 Mei 2006)

No comments: