Wednesday, August 12, 2009

Obong-Obongan Solo dalam Kenangan Seorang Santri

Ketika Kota Budaya Semerah Bara Sehitam Duka

Kamis Sore, 14 Mei 1998, bel tanda usai sekolah sore baru saja berdering, Ratusan siswa siswi Madrasah Diniyyah Awwaliyyah dan Wustho Al-Muayyad, Mangkuyudan, Surakarta, buyar dari kelas dan berlarian menuju kamarnya masing-masing. Ada yang segera mengambil peralatan mandinya lalu mengantri di depan deretan kamar mandi santri yang kusam. Ada juga yang cuma mengganti baju seragamnya dengan kaos atau hem lalu bersiap jalan-jalan sore di pinggiran jalan Slamet Riyadi, yang jaraknya hanya ratusan meter dari komplek pesantren.

Sementara itu para santri kalong --atau santri nglajo, santri yang tidak tinggal di pesantren-- segera bersiap-siap pulang ke rumahnya masing-masing. Bersama mereka ikut bersiap-siap pula para santri yang akan menghabiskan libur akhir pekan –di Al-Muayyad libur sekolah adalah hari Jumat— di kampung halaman masing-masing.

Aku sendiri, yang saat itu menjabat keamanan pondok, sedang bersiap melaksanakan rutinitas sore, menjaga gerbang pondok putra dan mencatat santri yang keluar masuk asrama. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh kedatangan Kang Ihsan Syathori yang dengan tergopoh-gopoh menghampiriku di kantor pondok. "Suruh semua santri masuk, ning Slamet Riyadi lagi ono obong-obongan..!! (di jalan Slamet Riyadi sedang ada pembakaran..),” serunya dengan wajah pucat.

Aku masih terkesima mendengar berita Kang Ihsan ketika beberapa pengurus pondok lain yang baru pulang dari berbagai tempat juga memberitakan hal yang sama, di beberapa tempat yang berbeda. Segera kuraih mikropon di kantor pondok dan kuumumkan larangan keluar pondok bagi semua santri. Kusampaikan penjelasan tentang alasan larangan itu sesedikit mungkin untuk menghindari kepanikan massal.

Tak lama kemudian beberapa santri menghampiriku sambil mengabarkan bahwa beberapa santri kalong sudah meninggalkan pondok. Dengan gugup kuambil sepeda motor pondok dan kukejar mereka menyusuri jalan Sido Asih Timur.

Dan benar, tak jauh dari pondok, aku bertemu Dwi Indriani –Siswi kelas 1 SMU dan MDW, santri kalong asal Palur—bersama beberapa temannya. Kuminta mereka segera kembali ke pondok. Kujelaskan peristiwa “obong-obongan” yang sedang terjadi di sepanjang jalur pulangnya dan mungkin masih akan berlanjut. Dengan wajah setengah bingung setengah takut, Indri –begitu ia akrab disapa— dan kawan-kawannya kembali ke pesantren. (Sumpah!! Tak pernah kusangka jika 7,5 tahun kemudian ia akan menjadi istriku. Hehehe.. )

Setelah berhasil “memulangkan” para santri kalong ke pesantren, aku segera menyusuri jalur lambat Jalan Slamet Riyadi ke arah timur menuju ke daerah Gendengan. Di jalanan kulihat banyak pemuda dan remaja yang berjalan dengan terburu-buru ke arah timur. Pandangan mata mereka tajam dan tampak penuh gairah. Dari beberapa pemuda yang kutanyai kudapatkan informasi bahwa sedang ada pembakaran dan penjarahan di toko-toko milik keturunan Etnis Tionghoa.

Mendengar hal itu tiba-tiba aku teringat kantor PCNU Solo yang berdiri di Jalan Honggowongso. Ada dua hal yang kukhawatirkan di sana. Pertama, kantor NU-nya sendiri dan, kedua, rumah Mbah Nyai Hj. Umi Kultsum Abror, ibu teman sekamarku Jami’ul Ma’ruf yang juga bibi pengasuh pesantrenku, Kiai Abdul Rozaq Shofawi. Di rumah yang berdiri berselang dua rumah dari kantor NU itu aku dan teman-teman pengurus pondok sering numpang makan dan tidur, bila sedang jenuh di Mangkuyudan.

Kebetulan dua bangunan itu bertetangga dekat dengan beberapa showroom motor, toko, bengkel dan laboratorium medis swasta yang rata-rata milik keturunan Tionghoa. Aku khawatir jika terjadi aksi pembakaran terhadap tempat-tempat usaha itu apinya akan merembet ke rumah Mbah Umi dan Kantor NU.

Maka sesampainya di perempatan Gendengan aku langsung membelokkan motorku ke kanan, ke arah Tegal Sari, lalu ke kiri menyusuri Busri (Mburi Sriwedari). Kawasan yang selalu ramai oleh para pencari buku-buku murah itu sangat lengang. Sayup-sayup kudengar teriakan bersahut-sahutan di kejauhan.

Suasana yang bertolak belakang kutemui saat memasuki Jalan Honggowongso, utara Pasar Kembang. Di jalan satu arah itu berkerumun ratusan orang yang kebanyakan masih muda. Dengan wajah beringas mereka berlarian mengikuti dua atau tiga orang bertubuh tegap dan berambut cepak. Sumpah!! Aku masih ingat betul bentuk tubuh dan potongan rambut tiga orang itu, karena mereka melintas tepat di depan hidungku.

Karena penasaran, aku pun berhenti dan mengamati aksi mereka. Ternyata kerumunan itu berhenti di depan sebuah toko baju, seratusan meter dari tempatku berdiri. Ketiga lelaki berambut cepak tersebut berteriak-teriak mengajak kerumunan massa yang mengikuti mereka mendobrak toko yang sudah tutup itu.

Tak hanya berteriak, mereka juga mengambil sebuah bangku panjang milik pedagang kaki lima yang tergeletak tak jauh dari toko. Dengan bangku itu sang “komandan” menghantam kaca etalase besar toko hingga hancur berkeping-keping. Ratusan pemuda yang berkerumun bersorak gembira. Salah satu pemuda berambut cepak lalu berteriak-teriak menyuruh kerumunan mengambil apa saja yang mereka mau. Anehnya, ketiga pemuda berbadan gagah itu tidak ikut masuk.

Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu. Dengan setengah ketakutan (atau memang ketakutan betulan) aku segera melarikan sepeda motorku ke arah selatan, menuju kantor NU yang hanya tinggal beberapa ratus meter lagi.

Melintasi perempatan Pasar Kembang, hatiku makin berdebar. Di depanku, terlihat onggokan sepeda motor yang masih baru dijungkalkan massa di tengah jalan, dijaga sekelompok pemuda yang tak henti-hentinya memberhentikan kendaraan yang melintas dan memaksa mereka untuk merelakan sebagian bensinnya ditumpahkan ke gayung yang mereka bawa. Mereka yang tak bersedia memberi akan diguncang-guncang setang motornya oleh dua atau tiga orang pencegat. Sementara teman-teman mereka yang lain berteriak menakut-nakuti, “Yen ora gelem nge’i obong sisan wae montore (Kalo nggak mau ngasih, bakar sekalian aja motornya..)”

Di pinggir jalan tempat beberapa motor itu teronggok, kulihat sekelompok pemuda dan remaja berusaha membongkar teralis pembatas sebuah showroom motor merek terkenal dan mengeluarkan sepeda-sepeda motor dagangannya ke jalanan. Dengan segayung bensin hasil jarahan itu para pemuda lalu menyiram motor-motor yang baru dikeluarkan dari tokonya dan menyulutnya dengan korek api. Dan.. BLUBBB..!! api pun berkobar disusul dengan ledakan keras beruntun.

Bukannya takut, para pemuda dan sebagian penduduk yang tadinya menyaksikan dengan ngeri dari kejauhan bersorak sorai. Benar-benar seperti pramuka menyaksikan api unggun yang baru menyala di bumi perkemahan.

Aku diuntungkan oleh pakaian santri (bajo koko, kain sarung dan kopiah hitam) yang kukenakan. Mereka yang mencegatku meminta bensin motorku dengan sedikit halus, “Mas, njaluk bensine tho...(Mas, minta bensinnya dong)..”

Dengan gemetar aku bilang, “Silahkan, tapi jangan banyak-banyak ya, mas.. ntar saya nggak bisa pulang ke pondok.”

Mereka lalu menarik selang bensin motor saya dan menuangkannya ke gayung. Benar, mereka tidak meminta banyak. Tak sampai setengah gayung, mereka lalu memasang kembali selang bensinku ke tempatnya.

Aku tergetar melihat showroom yang belakangan juga ikut dibakar. Dengan lutut yang makin lemas aku langsung menuju ke rumah Mbah Umi. Sepintas kulirik gedung kantor NU Solo di sebelahshowroom yang nampak lengang. Rentang jarak tembok utara kantor NU dengan dindingshowroom memberi ruang aman dari api. Tapi entah sampai kapan. Sementara kios Bensin eceran milik Pak Daroni, penjaga kantor NU, tampak telah kosong melompong. Entah telah habis dijarah massa atau kerana sempat diselamatkan terlebih dulu.

Di rumahnya Mbah Umi sedang hilir mudik kebingungan. Beberapa siswi SMA Al-Islam yang ngekos di rumahnya juga ikut mengkeret di sudut ruang tamu. Di salah satu ruang tengah aku juga bertemu Al-Amin Ediwati, santri Al-Muayyad Windan yang kuliah di MIPA UNS. Amin terlihat masih megap-megap kecapean setelah berjalan kaki belasan kilometer dari kampusnya. Menurut Amin, sejak habis Ashar seluruh sarana transportasi publik –termasuk buskota Kartosuro – Palur yang biasa ditumpanginya-- lumpuh total.

Melihat kedatanganku ibu lima anak itu tersenyum lega. “Untung kowe teko le.. aku wedi, ra ono wong lanang ning omah (Untung kamu datang, Nak. Aku takut, di rumah nggak ada lelaki),” kata ibu yang terkenal murah hati itu.

Tiga putra Mbah Umi memang tidak tinggal di rumahnya. Umam, si sulung, masih nyantri di Kalibeber, Wonosobo. Sementara Jami’, putra kedua Mbah Umi, mungkin masih di Mangkuyudan kebingungan mencari alat transportasi untuk pulang. Sedangkan Syafi’i anak bungsunya, tinggal di Pesantren Al-Muayyad Windan, Sukoharjo, yang diasuh Kiai Dian Nafi’, keponakan Mbah Umi yang lain.

Usai Maghrib, Jami’ tiba di rumah, bersama beberapa teman sekamar kami: Kholis, Albert, Tulus dan Matrohman. Keadaan saat itu sudah gelap gulita, karena PLN mematikan jaringan listrik hampir di seluruh kota. Dalam temaram lampu minyak kami saling bertukar cerita.

Tak lama kemudian Pak Amin, menantu Kiai Rozaq datang dengan mobilnya untuk mengevakuasi keluarga Bu Umi ke Al-Muayyad Mangkuyudan. Pak Amin bercerita, untuk sampai di kampung Jenengan, tempat Bu Umi tinggal, mobilnya harus keluar masuk gang-gang kampung, mengindari kerumunan amuk massa. Bersamaan dengan itu, datang pula pesan dari Kiai Rozaq, Rais Syuriyyah PCNU Solo waktu itu, agar sambil menunggui rumah bu Umi, kami juga menjaga kantor NU.

Aku, Jami’, Kholis, Albert, Matrohman dan Tulus pun berbagi giliran tugas menjaga kantor NU. Entah apa yang ada di pikiran kami waktu itu. Karena tak ingin terpisah jauh, kami pun memutuskan untuk berjaga bersama di depan laboratorium medis yang berdiri di antara Rumah Mbah Umi dan Kantor NU.

Kami menggelar tikar, lalu DDC (duduk-duduk cemas) sambil mengawasi kedua bangunan yang diamanahkan kepada kami. Tak lupa kami mencoret-coret pagar laboratorium itu dengan kata-kata “milik pribumi”, “milik umat islam” dan lain-lain. Bahkan aku sempat mencoretkan haikal Sulaiman seraya berdoa mudah-mudahan Allah menjaga bangunan ini dan –tentu saja-- rumah-rumah di sekitarnya. (Maafkan aksi vandalisme itu ya, Pak Pemilik)

Sesekali kerumunan warga dan pemuda yang berlarian membawa berbagai barang melintas di depan hidung kami. Sempat juga sekelompok pemuda berhenti di depan kami dan bertanya, “Laborate sopo iki, mas? (Laboratorium milik siapa ini, Mas).”

“Punya Bu Haji Umi Kulsum.. keluarga pesantren Al-Muayyad, Mas. Itu rumahnya..,” jawabku spontan sambil menunjuk rumah Bu Umi yang berdiri di sebelahnya. Sambil terus memandang gedung laborat yang mentereng itu mereka pun berlalu.

Ketika itu kami tak sadar --dan memang tak berniat-- ikut melindungi tempat usaha milik keturunan Tionghoa itu. Kami hanya tak ingin gedung itu dibakar, karena itu akan membuat rumah Bu Umi dan kantor NU juga akan ikut hangus. Belakangan, saat teringat peristiwa itu, kami sering terkekeh, “Mungkin itu cipratan berkahnya Mbah Umi untuk para tetangga ya.”

Karena terus menerus dalam kondisi tegang, beberapa jam kemudian kami tertidur kelelahan di atas tikar tempat kami berjaga, dua meter dari tepi ruas jalan Honggowongso. Entah berapa lama kami tertidur, yang jelas kami kemudian terbangun serentak karena kaget mendengar serentetan tembakan senapan mesin yang dilepaskan empat prajurit kopasus di atas mobil Jeep komando mereka yang melintas tepat di depan kami. Samar-samar kudengar teriakan ketakutan massa di sebelah selatan kami. Tak jauh dari kami pasukan baret merah itu kembali melepaskan tembakan ke udara. Rupanya mereka tengah menakut-nakuti para penjarah yang sedang membobol toko-toko di bagian selatan jalan Honggowongso.

Hatiku mencelos. Kami merepet ke tembok pagar laboratorium. Untung pasukan kebanggaan angkatan darat itu cuma lewat, bukannya menodongkan senapannya ke kami. Bukan apa-apa. Aku masih setengah trauma setelah selama beberapa minggu sebelumnya sering diacungi moncong senapan gas air mata saat ikut-ikutan demo di boulevard UNS bareng Henry Wicaksono, Alwan Jihadi dan kawan-kawan lain.

Alhamdulillah, setelah “diberondong” senapan oleh Kopassus, keadaan berangsur tenang. Tanpa sadar kami kembali tertidur. Kami baru terbangun beberapa jam kemudian dan langsung berkemas masuk ke dalam rumah Mbah Umi untuk shalat subuh dan meneruskan tidur.

Pukul 07.00 aku terbangun. Di depanku sudah duduk Amin Rosyadi, pengurus pondok asal Kebumen. Cucu keponakan Mbah Umi itu baru saja menyusul ke Honggowongso dengan sepeda ontanya. Amin bercerita tentang kerusuhan besar yg melanda Solo malam itu yang didengarnya dari beberapa tetangga yang meronda semalaman bersama pengurus pondok.

Karena penasaran ia lalu mengajakku jalan-jalan keliling Solo, menyusuri jalan-jalan protokol. Dan benar, di sepanjang jalan Slamet Riyadi terlihat puluhan bangkai mobil yang sudah hangus. Kawasan Ngapeman dan Coyudan yang biasanya semarak dengan etalase toko-toko besar milik etnis Tionghoa kini seperti kota mati. Semuanya hangus.. semuanya hancur.. semuanya senyap.

Kami terus bersepeda sampai depan kampus UNS, sekedar memastikan bahwa tempat yang telah menjadi saksi gerakan reformasi di Solo itu tidak ikut dibakar. Pulangnya kami mencoba menyusuri jalur selatan Solo, melintasi Pasar Kliwon lalu masuk ke komplek keraton. Ternyata itu pilihan yang salah. Hampir dua jam kami harus berputar-putar mencari jalan tembus, karena semua mulut gang ditutup barikade warga yang semalaman ketakutan. Setelah melalui perjuangan yang cukup berat –karena kami naik sepeda onthel--, akhirnya kami sampai juga di gerbang Al-Muayyad, pesantren kami yang damai. Dengan tarikan nafas lega aku bersiap-siap menunaikan shalat Jumat.

Begitulah, satu babak dari drama berdarah Mei 1998 yang ikut aku saksikan di kota tempatku mengaji, Solo. Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa penduduk kota, yang terkenal sebagai pusaran budaya jawa yang adiluhung, itu akan bisa berubah menjadi sangat beringas dan ganas dalam seketika. Tak pernah terlintas di benak anak pesisir, yang biasa bicara kasar dan blak-blakan ini, bahwa di kota yang budi bahasa warganya terkenal sangat santun dan lemah lembut itu akan terjadi kerusuhan, penjarahan, pembunuhan dan –kalo benar yang dibilang orang— pemerkosaan massal yang brutal, dengan korban saudara sebangsanya sendiri. Sebuah kutukan keji yang harus dialami komunitas keturunan Tionghoa hanya karena mereka terlahir sebagai “etnis lain”.

Tapi itulah jagat manusia. Tak ada yang tak mungkin di sana... Huru-hara di Solo sebelas tahun lalu –yang terulang kembali setahun kemudian, ketika Megawati yang sangat digandrungi warga Solo kalah dalam Pilpres di Sidang Umum MPR 1999-- itu telah membuktikannya. (Kang Iftah, Mei 2009)

Monday, May 28, 2007

Kesultanan Kadriah Pontianak

Meneguhkan Kembali Tahta Untuk Dakwah


Pengantar
Bulan Rabi’ul Awwal 1247 H lalu, majalah tempat saya bekerja mendapat undangan meliput kegiatan perayaan maulid di Bumi Khatulistiwa, Pontianak, Kalimantan Barat. Siapa yang menduga kota ini ternyata menyimpan banyak kisah menarik. Salah satunya adalah Kesultanan Kadariyah atau Kadriah. Untuk mengungkapnya di sela-sela liputan maulid yang padat, saya menyempatkan diri mengunjungi situs bersejarah tersebut. Berikut laporannya.

Hari telah merembang petang, ketika saya memasuki gerbang Istana Kadriah yang tak jauh dari Tol Kapuas (sebutan warga Pontianak untuk jembatan yang menghubungkan dua tepian sungai Kapuas). Meski disebut gerbang Kadriah, namun untuk mencapai istana Kadriah dan Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman yang terletak di tepi sungai Kapuas, pengunjung masih harus masuk kurang lebih dua kilometer.


Di bawah gerbang biasanya telah menunggu beberapa becak. Atau jika ingin menikmati nuansa tradisional Pontianak berjalan kaki juga bisa jadi alternatif pilihan. Selain melalui gerbang Kadriah (jalur darat), Istana Kadriah dan Masjid Jami’ juga bisa dicapai dengan menumpang perahu atau sampan dari dermaga Tambang Pluit dan langsung berlabuh di depan masjid kebanggaan warga Pontianak tersebut.

Jalur penyeberangan ini merupakan rute favorit warga di sekitar Masjid Jami’ --yakni kampung Arab, kampung Beting, dan kampung Bugis—yang ingin menuju pusat kota. Disamping lebih praktis dan lebih cepat, juga sangat murah. Cukup dengan uang seribu rupiah penumpang bisa menikmati penyebrangan berdurasi dua sampai tiga menit dengan sampan bermotor.

Di Pontianak, jalur transportasi sungai memang sangat populer dan berusia lebih tua dari pada tranporatsi modern lainnya. Bisa dimaklumi, karena satu-satunya jalur yang bisa menghubungkan semua kabupaten di Kalbar adalah sungai. Terutama sungai Kapuas yang menjadi jantung kehidupan penduduk Kalimantan Barat.

Meski kaya akan sungai dan sudah dialiri air bersih dari PDAM, namun untuk minum, sebagian besar penduduk Pontianak masih mengandalkan air hujan. Jangan heran, jika di halaman rumah sebagian besar penduduk akan dijumpai bak-bak penampungan air berukuran besar. Beruntung curah hujan di kota terbilang cukup tinggi.

Penduduk Kelurahan Bugis Dalam di mana Istana Kadriah, Masjid Jami’ dan Kampung Arab berada, terdiri berbagai etnis, yang terbesar adalah, Melayu, keturunan Arab, Madura, dan Bugis.


Meriam Kuning
Menurut sejarahnya, masjid jami’ dan Istana Kadriah adalah bangunan pertama yang didirikan di Pontianak. Kedua tempat itu juga awalnya merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Pontianak.

Namun sayang, seiring dengan pembangunan kota yang bergerak ke seberang selatan Sungai Kapuas, lingkungan Istana Kadriah yang berada di pinggiran pun menjadi terabaikan. Bahkan, beberapa dekade belakangan, wilayah bersejarah justru dikenal sebagai daerah kumuh yang tertinggal.

Ini terlihat dari semrawutnya tataletak perumahan yang rata-rata dibawah standar. Pemandangan itu masih diperparah dengan kualitas gaya hidup warganya yang masih ala kadarnya, seperti mandi di sungai yang airnya semakin menghitam dan pendidikan yang pas-pasan. Belum lagi image-image negatif yang sering ditudingkan secara pukul rata kepada penduduk kampung-kampung di sekitar keraton.

Nasib nyaris serupa ternyata juga menimpa simbol peradaban Islam di Pontianak, yakni Keraton Kadriah. Mengunjungi keraton yang dibangun oleh Sultan Abdurrahman, sore itu, ada rasa haru yang tiba-tiba saja menyeruak di hati. Betapa tidak, bangunan bersejarah itu tampak muram dengan beberapa kayunya yang mulai rapuh dimakan usia. Sebuah meriam kecil berwarna kuning yang menyambut setiap tamu di depan bangunan istana, menceritakan etos kepahlawanan raja-raja Pontianak masa lampau.

Memasuki balairung –tempat sultan terdahulu biasa menerima punggawa dan rakyatnya yang datang menghadap—yang terletak bagian utama keraton, aura muram semakin kuat terpancar. Nuansa kuning yang mendominasi dinding istana, tak mampu membuat suasana ruangan tempat singgasana raja berada itu menjadi ceria.

Perasaan haru semakin menyayat, ketika memasuki memasuki bekas kamar Sultan Muhammad Alkadrie yang berada di sisi kanan balairung, dekat pintu masuk keraton. Di dalamnya terdapat peraduan tua yang masih sangat indah, peninggalan sultan keenam itu. Di atas sebuah meja di seberang peraduan, terdapat sebuah kotak kaca yang berisi mushaf Al-Quran tulisan tangan Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, pendiri kesultanan Kadriah Pontianak. Di belakangnya tampak foto perahu lancang kuning khas Pontianak yang tengah berlayar di Sungai Kapuas.

Tepat dibelakang balairung, terdapat satu ruangan besar yang juga kosong. Hanya lukisan silsilah kerajaan, beberapa tombak dan payung serta foto-foto keluarga kesultanan saja yang masih membuat ruangan itu tampak sebagai bagian dari sebuah keraton. Di beberapa sudut tampak sisa-sisa pesta perkawinan semalam. Beberapa tahun belakangan, ruangan utama keraton memang sering dipinjam keluarga istana untuk resepsi pernikahan.

Sungguh pemandangan yang memilukan. Kursi singgasana yang kosong, foto para sultan, meriam kecil dan seorang ibu tua yang dengan ramah menyambut kami, menceritakan tentang bagian-bagian istana. Semuanya mengisyaratkan Keraton Kadriah yang seakan tengah menjerit lelah, menahan beban kisah kejayaan Kesultanan Pontianak di masa lalu, yang kini hanya tinggal legenda.

Sejarah Pontianak sendiri berawal dari kedatangan seorang ulama dari tanah Hadramaut, yakni Syarif Husein bin Ahmad Alkadrie. Setelah berdakwah di Samudera Pasai, Batavia dan Semarang, langkah kakinya membawa sang habib ke kerajaan Matan, (kini Kabupaten Ketapang) Kalimantan Barat. Setelah menikah dengan putri raja Matan, ia hijrah ke kerajaan Mempawah (sekarang ibukota kabupaten Pontianak). Salah satu putranya, yakni Syarif Abdurrahman, kemudian menjadi menantu raja Mempawah, Daeng Opu Manambon.


Hantu Kuntilanak
Suatu ketika, sepeninggal Syarif Husein Alkadrie, Syarif Abdurrahman Alkadrie minta ijin kepada mertuanya untuk membuka wilayah baru, agar bisa mensyiarkan agama Islam. Pengembaraan pun dilakukan dengan perahu kakap, menyusuri sungai Landak dan sungai Kapuas sampai kemudian menemukan calon kota Pontianak.

Kata Pontianak sendiri berasal dari nama hantu wanita dalam bahasa Melayu, yang di Jawa dikenal dengan Kuntilanak. Konon ketika tengah menyusuri sungai kapuas untuk membuka kerajaan baru, di suatu tempat yang kini bernama Batulayang, rombongan kapal kakap Syarif Abdurrahman Alkadrie diganggu hantu-hantu wanita tersebut. Sultan pun menghentikan rombongan dan memutuskan untuk bermalam di tempat itu.

Kemudian Syarif Abdurrahman bermunajat memohon petunjuk dan pertolongan kepada Allah. Setelah kurang lebih lima malam berada di selat yang berada antara Batulayang dan pulau kecil di tengah sungai, putra Syarif Husein bin Ahmad Alkadrie, mufti kerajaan Mempawah, itu memerintahkan anak buahnya mengisi seluruh meriam dengan peluru. Menjelang subuh, ulama muda itu memerintahkan agar meriam ditembakkan ke tepian sungai.

Selama beberapa waktu suara dentuman meriam menghujani hutan belantara yang berada di sepanjang tepi sungai. Bersamaan dengan berhentinya dentuman meriam, hilang pula gangguan hantu pontianak dan suara-suara aneh dari hutan. Syarif Abdurrahman kemudian memerintahkan untuk menembakkan meriam sekali lagi untuk mencari lokasi pembangunan masjid. Setelah matahari terbit puluhan anak buah menantu raja Mempawah yang juga menantu raja Banjar itu membabat hutan mencari peluru meriam.

Ternyata peluru ditemukan dibawah sebuah pohon besar yang di salah satu dahannya terdapat ayunan bayi. Oleh Syarif Abdurrahman pohon itu lalu dibersihkan kulitnya dan dijadikan tiang utama masjid. Rombongan itu lalu bahu membahu membangun bagian-bagian masjid yang seluruhnya berbahan kayu. Usai pembangunan masjid, Syarif Abdurrahman kembali menembakkan meriam. Di lokasi jatuhnya meriam kedua itu lalu dibangun komplek istana Kadriah. Peristiwa itu terjadi pada 24 Rajab 1185 H/23 Oktober 1771 M.

Setelah seluruh infrastruktur selesai dipersiapkan, tujuh tahun kemudian, tepatnya hari Senin, 8 Sya’ban 1192 H, Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan menjadi Sultan Pontianak pertama. Kepemimpinan ulama muda yang cakap itu berhasil membuat kerajaan baru itu menjadi kota pelabuhan besar dan pusat perdagangan yang disegani. Namun sayang, dua tahun setelah penobatan sultan kelahiran tahun 1742 H itu, kedaulatan kerajaan baru itu terusik.

Tahun 1778 M, penjajah Belanda mulai menginjakkan kaki di bumi Khatulistiwa. Awalnya rombongan pertama, yang dipimpin seorang petor (asisten residen) dari Rembang bernama Willem Ardinpola, itu minta ijin kepada Sultan untuk berniaga di wilayahnya. Oleh Sultan yang murah hati itu Bangsa Belanda diberi tempat berdagang di seberang Keraton Pontianak yang kini terkenal dengan nama Tanah Seribu (Verkendepaal).

Beberapa tahun setelah berdagang dengan damai, VOC mulai melakukan praktik monopoli ekonomi dan perdagangan yang memicu konflik dengan pedagang-pedagang pribumi. Konflik itu lalu dijadikan alasan untuk mendatangkan balatentara ke Pontianak. Sejak saat itulah Kesultanan Pontianak memasuki fase perjuangan melawan penjajah yang berlangsung hingga akhirnya bergabung dengan NKRI.


Memutar Tasbih
Sejarah kesultanan Pontianak memang identik dengan dakwah, perjuangan dan pengorbanan. Tujuan didirikannya kesultanan Pontianak sendiri, menurut Sultan Pontianak ke-9 Syarif Abubakar Alkadrie, tidak lain untuk meneguhkan dakwah Islamiyyah. Ketika itu, lanjut Sultan, Syarif Abdurrahman minta ijin meninggalkan kerajaan Mempawah kepada mertuanya untuk menyebarkan agama Islam di bagian lain pulau Kalimantan.

Kisah-kisah kehidupan para sultan pontianak generasi awal juga identik dengan kesalehan dan nuansa keberagamaan yang kental. Misalnya ketika membuka wilayah Pontianak, yang pertama kali dibangun Sultan adalah masjid, baru kemudian istana. Ini melambangkan orientasi akhirat yang lebih mendorong berdirinya kerajaan Pontianak daripada ambisi keduniawian.

Sultan dan rakyat Pontianak memang dikenal sebagai pejuang-pejuang yang gagah berani dan penuh pengorbanan dalam melawan penjajahan. Kisah perjuangan paling legendaris yang hingga saat ini terus terngiang-ngiang di hati rakyat Pontianak adalah tragedi Mandor. Pada insiden tersebut lebih dari 21 ribu pria –termasuk Sultan Muhammad Alkadrie, seluruh punggawa, dan kaum intelektual—di kotaraja Pontianak dibantai oleh tentara Jepang.

Berdasarkan catatan di Museum Jepang di Tokyo, peristiwa tragis terjadi mulai 23 April 1943 hingga 28 Juni 1944. Waktu yang terbilang singkat, untuk membantai puluhan ribu nyawa. Peristiwa yang target awalnya hanya akan menangkap sekitar lima ribu orang itu meninggalkan kesedihan dan kepedihan yang mendalam bagi keluarga korban. Sebelum dibantai, korban-korban sempat dipekerjakan sebentar sebagai romusha, kecuali keluarga kerajaan yang langsung dibunuh hari itu juga.

Dengan mata berkaca-kaca, Sultan Syarif Abubakar yang ditemui alKisah di kediamannya di belakang Istana Kadriah mengisahkan peristiwa berdarah itu. Sejak awal April, pemerintah Jepang di Pontianak mendengar isu akan adanya pemberontakan. Suasana kota Pontianak pun menjadi tegang. Rupanya ada yang memanfaatkan situasi itu untuk memancing di air keruh, tiba-tiba Jepang mencurigai keluarga Sultan Muhammad Alkadrie yang akan menjadi otak pemberontakan.

Hari itu ribuan balatentara Jepang mengadakan operasi kilat penangkapan orang-orang yang dicurigai. Dengan membabi buta setiap orang yang dianggap mempunyai intelektualitas –terutama para ulama—ditangkapi. Sultan Muhammad sendiri bersama para punggawanya “dijemput” paksa balatentara Jepang dari istananya.

Dengan disaksikan istri, anak cucu, punggawa dan sebagian rakyatnya, raja yang ahli ibadah itu dirantai dan kepalanya ditutupi kain hitam, sebelum dibawa pergi. Yang mengharukan, sebelum dibawa pergi Sultan Muhammad Alkadrie memutar-mutar tasbih di jari telunjuknya seraya bertakbir.

Rombongan pembesar kerajaan lalu dibawa ke depan markas Jepang di sisi lain sungai Kapuas (sekarang menjadi markas Korem). Di tempat itu satu persatu kepala mereka dipenggal, kemudian dimasukkan ke truk dan dibawa pergi entah kemana. Beruntung, tujuh bulan kemudian –setelah Jepang sudah angkat kaki-- jasad Sultan Muhammad Alkadrie berhasil ditemukan di Krekot. Penemuan itu sendiri berkat laporan salah seorang penggali lubang makam yang berhasil lolos dari pembantaian serdadu Jepang.

Dan sungguh menakjubkan, meski sudah tujuh bulan terkubur, saat digali kembali, jasad sultan yang shalih itu masih utuh seperti orang yang baru saja meninggal dunia. Bahkan, menurut kesaksian para penggali, pakaian dan tasbihnya pun masih tampak bagus. Jasad Sultan Muhammad Alkadrie kemudian dimakamkan kembali di makam para sultan Pontianak di Batulayang.


Vacuum of Power
Sementara itu, puluhan ribu tawanan lainnya –yang terdiri dari ulama, santri, prajurit, saudagar bahkan rakyat jelata—dibawa ke hutan yang dipenuhi pohon cemara, pinus dan kayu putih di Desa Kopyang, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak. Rimba sunyi itu yang kemudian menjadi saksi ketika serdadu Jepang secara brutal memancung kepala para tawanan. Ironinya, jasad mereka lalu dibuang ke dalam lubang-lubang yang sebelumnya mereka gali sendiri atas perintah serdadu musuh.

Setidaknya ada 10 pemakaman massal yang terdapat di Mandor, yang masing-masing berjarak antara 100 meter hingga 200 meter. Makam terbesar terdapat pada makam nomor 10. Di dekatnya ada 'pendopo' kecil, yang didalamnya terdapat sejumlah foto para korban pembantaian yang terdiri atas kaum cerdik pandai, ulama dan tokoh-tokoh kesultanan Pontianak. Pembantaian di Mandor (kurang lebih 88 km utara Pontianak) diperkirakan dilakukan secara bertahap. Ini tampak dari banyaknya kolam-kolam yang menjadi tempat penguburan secara massal oleh tentara Jepang.

Tragedi Mandor itu membuat Pontianak pernah mengalami kehilangan satu generasi intelektualnya. Dan dampak traumatiknya masih terasa hingga puluhan tahun berikutnya. Selama kurun tahun 1950an hingga 1970an, kota itu mengalami fase kekosongan kaum cendekiawan dan cerdik pandai.

Dengan gugurnya Sultan Muhammad Alkadrie, Kesultanan Pontianak mengalami vacuum of power. Satu-satunya putra sultan yang masih hidup, Syarif Abdul Hamid Alkadrie, tengah menuntut ilmu di luar negeri. Untuk mengisi kekosongan diangkatlah Syarif Thoha Alkadrie, cucu sultan Muhammad dari garis anak perempuan, menjadi Sultan Kadriah ketujuh. Sultan Thaha Alkadrie memerintah sampai tahun 1945, ketika Syarif Abdul Hamid Alkadrie pulang ke Pontianak dan dinobatkan menjadi sultan kedelapan.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, dengan kebesaran jiwanya, Kesultanan Pontianak menyerahkan mandat pemerintahan teritorialnya kepada pemerintah NKRI. Dan sejak itu, kesultanan hanya memegang tampuk “kekuasaan” kultural. Sebuah pengorbanan terbesar yang diberikan oleh keturunan Syarif Abdurrahman Alkadrie untuk negeri ini.

Namun sayang, menilik keadaan keraton saat ini, sepertinya pemerintah RI tampaknya belum mampu membayar pengorbanan tersebut dengan layak. Terlihat monumen utama peninggalan kesultanan, yakni keraton Kadriah dan Masjid Jami’ Syarif Abdurrahman Alkadrie, yang dalam kondisi memperihatinkan. Kayu-kayu yang rapuh di sana-sini, dan beberapa barang yang “hilang” dari tempatnya.

Banyak hal, tentu saja, yang menyebabkan hal tersebut. Terutama ketiadaan dana untuk merawat dan merenovasi warisan bersejarah itu. Ini, menurut penuturan Sultan Syarif Abubakar Alkadrie, disebabkan keraton tidak mempunyai sumber pemasukan tetap yang dapat dipakai untuk merawat aset keraton. Sementara Keraton sendiri sudah tidak mempunyai aset-aset yang bisa djadikan sebagai modal pengelolaan. Meski pernah ada dana bantuan dari pemerintah, namun diakui Sultan, jumlahnya sangat minim dan lebih bersifat insidentil.

Keterpurukan keadaan istana dimulai sejak kekosongan kepemimpinan di kesultanan Pontianak sepeninggal Sultan Abdul Hamid Alkadrie yang wafat tahun 1978 pada usia 65. Vacuum of power kedua ini disebabkan Sultan Abdul Hamid tidak mempunyai putra mahkota, dan sampai wafatnya tidak menunjuk pengganti.


Calon Termuda
Baru setelah berlangsung selama 26 tahun, ada beberapa pihak dari kalangan keluarga istana Kadriah yang cemas akan punahnya kesultanan Pontianak. Maka pada periode 2003-2004 keluarga besar itupun berhimpun dan mencoba membangun kembali kesultanan bersejarah itu. Dari hasil penelusuran silsilah, ditemukan tiga nama yang masih memiliki jalur nasab dari garis ayah yang bersambung dengan Sultan Muhammad Alkadrie, yakni Syarif Yusuf Alkadrie, Syarif Abdillah Alkadrie dan Syarif Abubakar Alkadrie.

Seluruh keluarga istana lalu menyerahkan keputusan tentang siapa yang akan menjadi sultan kesembilan kepada tiga orang pewaris tersebut. Perdebatan berjalan cukup alot. Bukan karena saling berebut kekuasan, namun sebaliknya, ketiga putra mahkota itu justru merasa tidak cukup layak untuk menduduki kursi kesultanan. Berbagai pihak meyakinkan mereka tentang pentingnya keberadaan seorang sultan guna melanjutkan tahta kultural Pontianak.

Melihat proses kesepakatan berjalan alot, dengan niat mempermudah keadaan Syarif Abubakar Alkadrie, calon termuda, pun mengundurkan diri dan menyerahkan sepenuhnya kepada dua kakak sepupunya. Namun, setelah enam bulan berdiskusi, Syarif Abdillah dan Syarif Yusuf justru bersepakat untuk mengangkat sepupu termuda mereka, Syarif Abubakar Alkadrie, menjadi sultan.

“Demi Allah,” kata Syarif Abubakar kepada alKisah, “saya tidak pernah mengharapkan semua ini (menjadi sultan, -red). Meski tidak seberat sebelum tahun 1945, tanggung jawab sebagai sultan itu bagi saya tetap saja sangat berat. Yang paling saya takutkan adalah pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT, jika kemudian ternyata amanat itu tidak mampu saya pikul dengan baik.”

Maka demikianlah, pada tanggal 15 Januari 2004, Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie dinobatkan menjadi sebagai Sultan Kadriah kesembilan dengan bergelar Mas Perdana Agung Sultan ke-9 Istana Kadriah Pontianak. Penobatan tersebut dihadiri perwakilan keraton-keraton yang masih eksis di nusantara, seperti Keraton Kasunanan Surakarta, keraton Mempawah, keraton Sanggau dan Sambas.

Dua tahun setelah menjadi Sultan Pontianak, ada sebuah harapan di hati pria santun kelahiran 26 Juni 1944 itu, yakni kembali menjadikan keraton sebagai pusat dakwah dan syiar Islam. Berbagai upaya terus dilakukannya untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Beberapa tahun lalu, misalnya, ia pernah mencoba mengadakan peringatan maulidan di keraton. Di luar dugaan, acara yang telah cukup lama tidak diselenggarakan itu dibanjiri umat Islam yang merindukan acara-acara spiritual keraton.

Namun ironinya, acara perdana itu sekaligus juga menjadi yang terakhir. Pihak penyelenggara mengkhawatirkan kondisi istana yang sudah rapuh, tidak akan sanggup menampung antusiasme pengunjung. Sebagai gantinya, Sultan yang mendatangi undangan maulid-maulid di luar keraton.

Terlepas dari bagaimanapun kondisi fisik peninggalan bersejarah tersebut saat ini, berdiri kembalinya kesultanan Kadriah menyemburatkan harapan baru hati umat Islam Pontianak. Gerbong peradaban yang didirikan Syarif Abdurrahman itu akan kembali berderak, menyongsong terbitnya fajar baru kejayaan Islam, yang berbasis visi awal kesultanan Kadriah, yakni “tahta untuk dakwah.” (Kang Iftah, liputan April 2006)

Mengenang Setahun Gempa Yogya

Tangan Tuhan di Tengah Bencana

Gempa 5,9 skala Richter yang meluluhlantakkan wilayah DIY dan sebagian kabupaten Klaten, Jawa Tengah, 27 Mei lalu, tidak hanya menyisakan duka mendalam, tetapi juga cerita-cerita keajaiban tengan Tuhan yang menyelamatkan hamba-hamba yang dikehendakinya.

Hari masih pagi ketika pesantren Al-Imam, Wonokromo, Pleret, Bantul, tampak rapi dan penuh hiasan warna warni. Hari itu Nyai Hj. Istijabah, sesepuh pesantren, akan menyelenggarakan acara ngundhuh mantu salah satu kemenakannya. Maka semua pengajian diliburkan dan seluruh santri dikerahkan untuk membantu perhelatan tersebut.


Namun, ketika taplak meja baru saja digelar dan makanan baru saja dimasukkan kotak tiba-tiba bumi bergetar hebat. Kontan saja barisan meja kursi terjungkal, mengiringi runtuhnya dinding timur asrama pesantren. Antara kaget dan terkesima para seluruh penghuni pesantren berhamburan keluar. Menyusul kemudian separuh bangunan mushala, yang sedianya akan menjadi lokasi pelaminan, ikut luruh ke bumi. Jerit ketakutan dan pekik takbir segera saja terdengar bersahutan.

Meski tak sampai satu menit, murka alam pagi itu telah merubah 70 persen bangunan pesantren yang telah berusia lebih dari 90 tahun itu menjadi puing-puing. Para santri terbengong-bengong melihat kamar dan barang miliknya tertimbun reruntuhan asrama. Beruntung dalam musibah nasional tersebut tidak ada satu pun keluarga pesantren yang menjadi korban.

Isak tangis semakin deras ketika tak lama kemudian rombongan besan dari Purworejo tiba di lokasi resepsi. Mereka terbengong-bengong melihat keadaan tuan rumah yang berantakan. Bahkan ketika turun dari mobil, para tamu sempat disambut gempa susulan yang cukup besar. Meski keadaan pesantren luluh lantak, acara ngundhuh mantu hari tetap berlanjut. Dengan sisa jamuan yang masih bisa diselamatkan, para tamu itu diterima di halaman pesantren, di bawah rindangnya pohon durian.

Hingga saat ini, keluarga Nyai Hj. Istijabah masih tinggal di tenda darurat yang didirikan di halaman pesantren. Di tenda itu pula keluarga ndalem lainnya memasak dan beristirahat, sambil menanti kepastian bahwa keadaan telah aman.

Masih di desa yang sama, pagi itu seluruh santri Pondok Pesantren Fadlun Minallah yang diasuh K.H. Muhammad Katib, baru saja mengakhiri pengajian kitab kuning mereka, ketika tiba-tiba alam bergoyang dahsyat. Sebagian santri yang mengaji di aula bawah segera bisa keluar ruangan. Namun tidak demikian halnya dengan separuh santri lainnya yang mengaji di lantai dua. Dinding lantai dua roboh tepat di atasa satu-satunya tangga yang menghubungkan dengan lantai dasar.


Sebatang Bambu
Mereka kebingungan karena untuk melompat ke tanah tentu tidak memungkinkan mengingat bangunan yang belum lama direnovasi itu cukup tinggi. Ketakutan semakin memuncak ketika dinding depan juga mulai retak dan miring ke arah luar. Beruntung, dalam keadaan panik beberapa orang pengurus berinisiatif mengambil sebatang bambu yang cukup panjang dan menyandarkannya ke dinding belakang yang masih tegak berdiri. Melalui salah satu jendela kelas, satu persatu santri dan ustadnya melorot turun.

Seluruh santri yang berjumlah 150an anak itu selamat. Namun efek traumatiknya masih terasa hingga kini. Tak satupun santri yang berani di tidur di dalam ruangan. Bahkan para santriwati mendirikan tenda-tenda darurat di tengah kebun milik pesantren. Dalam gempa kemarin, Desa Wonokromo satu kehilangan 24 orang warganya yang meninggal karena tertimpa reruntuhan rumah mereka.

Pondok Pesantren lain yang ikut menjadi korban adalah Pondok Pesantren Al-Mahally, Brajan, Pleret, Bantul. Dalam insiden lalu hampir seluruh bangunan pesantren yang didirikan oleh almarhum KH. Abdul Mujab Mahalli itu luluh lantak. Belum jelas berapa korban jiwa yang jatuh.

Kisah menarik terjadi di sekitar pesantren, tepatnya di kediaman H. Dalwari, pemimpin Kelompok Bimbingan Ibadah Haji Muslimat NU Yogyakarta. Sejak hari Kamis sebelumnya, Keluarga H. Dalwari menggelar hajatan pernikahan putrinya, Siti Muharrarah dengan Imam Suhrawardi dari Pesantren Lempuyangan Yogyakarta.

Pesta pernikahan digelar selama tiga hari berturut-turut. Hari pertama bos persewaan peralatan pesta HDWR itu mengadakan pengajian. Esoknya ia menggelar kesenian rakyat dan campursari. Sementara hari ketiga, Sabtu 27 Mei 2006, rencananya akan diadakan semaan Al-Quran 30 Juz dan ditutup dengan pengajian khatmil quran.

Pagi itu, usai shalat subuh H. Dalwari yang semalaman begadang menemani para tamu, pun beranjak tidur di kamarnya. Sementara putra-putri lainnya ikut menyimak pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran di panggung yang didirikan di halaman rumahnya yang baru saja dimulai. Istri Dalwari sendiri sedang berada di bagian lain rumahnya.

Belum lagi semaan Al-Quran mencapai satu juz, tiba-tiba tempat itu bergoncang hebat. Beberapa detik kemudian rumah alumnus pesantren Banjarsari, Magelang itu runtuh. Beruntung saat itu sebagian besar anggota keluarga berada di luar. Sebagian lainnya masih sempat menyelamatkan diri keluar, kecuali H. Dalwari sendiri yang tengah terlelap tidur di kamar dan tiga orang anak terkecilnya, Siti Anikoh (8 th), Lulu’ (5 th) dan Haizuddin (6 bulan).

Orang-orang yang berada di lokasi pun panik melihat rumah besar itu nyaris rata dengan tanah. Dengan peralatan seadanya putra-putra H. Dalwari dibantu para pegawainya berusaha membongkar puing-puing. Sementara ibu dan saudara-saudara perempuan lainya berteriak-teriak histeris memanggil nama H. Dalwari dan ketig anaknya.

Ajaib. Dari sela-sela reruntuhan tiba-tiba muncul Anik dan adiknya, Lulu, yang merangkak keluar. Keduanya selamat, tak kurang suatu apapun. Tak lama kemudian si bungsu Haizuddin juga ditemukan tengah merangkak di sela-sela puing reruntuhan mencari jalan keluar. Tinggal sang Bapak yang belum ditemukan.

Ternyata dari sela-sela jendela terlihat H. Dalwari masih tertidur nyenyak di satu-satunya kamar yang masih utuh. Setelah teriakan tak juga bisa membangunkan tokoh yang dengan rutin menyediakan perlengkapan Majelis Semaan Al-Quran Mantab Yogykarta tersebut, akhirnya diputuskan untuk menjebol terali besi di jendela kamar. Baru setelah tubuhnya digoyang-goyang dengan keras H. Dalwari terbangun dan kebingungan melihat rumahnya tingal puing-puing.

Sedang Bersujud
Peristiwa Ajaib lain terjadi di Pondok Pesantren Darul Muhibbin, Slegre’an, Wedi, Klaten. Ketika itu keluarga K.H. Sarmanto tengah berada di tempat terpisah. Sang ayah beserta menantu laki-lakinya tengah berdzikir di salah satu kamar. Sementara Bu Sarmanto dan salah satu putranya, Rahmat Agung Nugraha, tengah berada di mushala yang berada di depan rumah.

Di kamar lain terdapat Nur Saadah, istri Agung, yang sedang membaca Al-Quran sambil menjaga bayinya, dan Mufidatul Khairiyah, adik Rahmat Agung, yang tengah meninabobokan bayinya. Dua anak lain Saifudin Sunaryo sedang keluar dan si bungsu Adnan tengah belajar di Hadramaut.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh getaran bumi yang semakin lama semakin kencang. Agung dan ibunya bisa langsung keluar dari mushala yang tak berpintu itu dengan mudah. Begitu juga dengan Mufidatul Khairiyyah dan bayinya, yang segera ditolong oleh sang suami yang meninggalkan dzikirnya.

Namun tidak demikian dengan Sarmanto, Nur Sa’adah dan bayinya. Pak Sar, demikian sang bapak biasa disapa, tidak mengira gempa pagi itu akan meruntuhkan bangunan pesantrennya yang belum lama dibangun. Ketika atap rumah mulai berguguran dan menutupi pintu kamar, ia baru sadar tak mungkin lagi keluar dari kamar. Maka dengan penuh kepasrahan ia mendirikan shalat di kamar yang mulai runtuh.

Ketika jenazahnya berhasil dievakuasi keesokan harinya, jenazah Kiai Sarmanto ditemukan dalam posisi bersujud dengan seuntai tasbih di tangannya. Menurut kesaksian santri-santri K.H. Adib Zaen, Solo, yang diperbantukan untuk mengevakuasi korban, saat ditemukan tubuh pria yang gemar silaturahmi itu masih tetap lemas dan segar.

Sementara Nur Sa’adah yang terkejut ketika mendadak atap kamarnya runtuh, dengan reflek segera berlutut di atas tubuh bayinya. Tubuh ibu dan anak itu pun segera tertimbun puing-puing yang runtuh dengan deras. Namun rupanya Allah belum menghendaki keduanya mati. Begitu gempa reda, Agung, sang suami, dengan tangan kosong berusaha menggali puing-puing kamarnya. Semangatnya semakin kuat setelah dari sela-sela puing terdengar tangisan anaknya.

Usahanya berhasil. Reruntuhan yang menutupi tubuh istri dan anaknya sedikit demi sedikit terkuak. Dan sungguh ajaib. Setelah terkubur lebih dari satu jam, wanita hafizhah itu selamat, beserta putrinya. Hanya ada sedikit luka lecet di tangan Nduk Dah, putri Kiai Masrokhan, Brabo, Grobogan tersebut. Selain kedua orang itu, ada beberapa anggota keluarga lain yang menderita patah tulang cukup parah sehingga harus dilarikan ke Rumah Sakit Kustati, Solo.

Pesantren lain yang mengalami kerusakan cukup serius akibat gempa 27 Mei lalu adalah Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Beberapa bangunan bersejarah milik pesantren, seperti bagian depan masjid lama yang terletak di Komplek Al-Munawwir dan beberapa bagian komplek asrama santri. Dan karena musibah itu terjadi pada jam mengaji, seorang ustadz yang tengah mengajar meninggal dunia tertimpa kuda-kuda (blandar) atap pesantren.

Hingga berita ini diturunkan jumlah korban gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah telah menembus angka 6000 orang meninggal dunia dan puluhan ribu luka-luka. Satu lagi episode kelam dalam rantai kehidupan bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya, yang semoga akan menambah gurat kearifan dalam menjalani keberlangsungan hidup. (Kang Iftah, liputan 29 Mei 2006)