Ketika Kota Budaya Semerah Bara Sehitam Duka
Sementara itu para santri kalong --atau santri nglajo, santri yang tidak tinggal di pesantren-- segera bersiap-siap pulang ke rumahnya masing-masing. Bersama mereka ikut bersiap-siap pula para santri yang akan menghabiskan libur akhir pekan –di Al-Muayyad libur sekolah adalah hari Jumat— di kampung halaman masing-masing.
Aku sendiri, yang saat itu menjabat keamanan pondok, sedang bersiap melaksanakan rutinitas sore, menjaga gerbang pondok putra dan mencatat santri yang keluar masuk asrama. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh kedatangan Kang Ihsan Syathori yang dengan tergopoh-gopoh menghampiriku di kantor pondok. "Suruh semua santri masuk, ning Slamet Riyadi lagi ono obong-obongan..!! (di jalan Slamet Riyadi sedang ada pembakaran..),” serunya dengan wajah pucat.
Tak lama kemudian beberapa santri menghampiriku sambil mengabarkan bahwa beberapa santri kalong sudah meninggalkan pondok. Dengan gugup kuambil sepeda motor pondok dan kukejar mereka menyusuri jalan Sido Asih Timur.
Dan benar, tak jauh dari pondok, aku bertemu Dwi Indriani –Siswi kelas 1 SMU dan MDW, santri kalong asal Palur—bersama beberapa temannya. Kuminta mereka segera kembali ke pondok. Kujelaskan peristiwa “obong-obongan” yang sedang terjadi di sepanjang jalur pulangnya dan mungkin masih akan berlanjut. Dengan wajah setengah bingung setengah takut, Indri –begitu ia akrab disapa— dan kawan-kawannya kembali ke pesantren. (Sumpah!! Tak pernah kusangka jika 7,5 tahun kemudian ia akan menjadi istriku. Hehehe.. )
Setelah berhasil “memulangkan” para santri kalong ke pesantren, aku segera menyusuri jalur lambat Jalan Slamet Riyadi ke arah timur menuju ke daerah Gendengan. Di jalanan kulihat banyak pemuda dan remaja yang berjalan dengan terburu-buru ke arah timur. Pandangan mata mereka tajam dan tampak penuh gairah. Dari beberapa pemuda yang kutanyai kudapatkan informasi bahwa sedang ada pembakaran dan penjarahan di toko-toko milik keturunan Etnis Tionghoa.
Mendengar hal itu tiba-tiba aku teringat kantor PCNU Solo yang berdiri di Jalan Honggowongso. Ada dua hal yang kukhawatirkan di sana. Pertama, kantor NU-nya sendiri dan, kedua, rumah Mbah Nyai Hj. Umi Kultsum Abror, ibu teman sekamarku Jami’ul Ma’ruf yang juga bibi pengasuh pesantrenku, Kiai Abdul Rozaq Shofawi. Di rumah yang berdiri berselang dua rumah dari kantor NU itu aku dan teman-teman pengurus pondok sering numpang makan dan tidur, bila sedang jenuh di Mangkuyudan.
Kebetulan dua bangunan itu bertetangga dekat dengan beberapa showroom motor, toko, bengkel dan laboratorium medis swasta yang rata-rata milik keturunan Tionghoa. Aku khawatir jika terjadi aksi pembakaran terhadap tempat-tempat usaha itu apinya akan merembet ke rumah Mbah Umi dan Kantor NU.
Maka sesampainya di perempatan Gendengan aku langsung membelokkan motorku ke kanan, ke arah Tegal Sari, lalu ke kiri menyusuri Busri (Mburi Sriwedari). Kawasan yang selalu ramai oleh para pencari buku-buku murah itu sangat lengang. Sayup-sayup kudengar teriakan bersahut-sahutan di kejauhan.
Suasana yang bertolak belakang kutemui saat memasuki Jalan Honggowongso, utara Pasar Kembang. Di jalan satu arah itu berkerumun ratusan orang yang kebanyakan masih muda. Dengan wajah beringas mereka berlarian mengikuti dua atau tiga orang bertubuh tegap dan berambut cepak. Sumpah!! Aku masih ingat betul bentuk tubuh dan potongan rambut tiga orang itu, karena mereka melintas tepat di depan hidungku.
Karena penasaran, aku pun berhenti dan mengamati aksi mereka. Ternyata kerumunan itu berhenti di depan sebuah toko baju, seratusan meter dari tempatku berdiri. Ketiga lelaki berambut cepak tersebut berteriak-teriak mengajak kerumunan massa yang mengikuti mereka mendobrak toko yang sudah tutup itu.
Tak hanya berteriak, mereka juga mengambil sebuah bangku panjang milik pedagang kaki lima yang tergeletak tak jauh dari toko. Dengan bangku itu sang “komandan” menghantam kaca etalase besar toko hingga hancur berkeping-keping. Ratusan pemuda yang berkerumun bersorak gembira. Salah satu pemuda berambut cepak lalu berteriak-teriak menyuruh kerumunan mengambil apa saja yang mereka mau. Anehnya, ketiga pemuda berbadan gagah itu tidak ikut masuk.
Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu. Dengan setengah ketakutan (atau memang ketakutan betulan) aku segera melarikan sepeda motorku ke arah selatan, menuju kantor NU yang hanya tinggal beberapa ratus meter lagi.
Melintasi perempatan Pasar Kembang, hatiku makin berdebar. Di depanku, terlihat onggokan sepeda motor yang masih baru dijungkalkan massa di tengah jalan, dijaga sekelompok pemuda yang tak henti-hentinya memberhentikan kendaraan yang melintas dan memaksa mereka untuk merelakan sebagian bensinnya ditumpahkan ke gayung yang mereka bawa. Mereka yang tak bersedia memberi akan diguncang-guncang setang motornya oleh dua atau tiga orang pencegat. Sementara teman-teman mereka yang lain berteriak menakut-nakuti, “Yen ora gelem nge’i obong sisan wae montore (Kalo nggak mau ngasih, bakar sekalian aja motornya..)”
Di pinggir jalan tempat beberapa motor itu teronggok, kulihat sekelompok pemuda dan remaja berusaha membongkar teralis pembatas sebuah showroom motor merek terkenal dan mengeluarkan sepeda-sepeda motor dagangannya ke jalanan. Dengan segayung bensin hasil jarahan itu para pemuda lalu menyiram motor-motor yang baru dikeluarkan dari tokonya dan menyulutnya dengan korek api. Dan.. BLUBBB..!! api pun berkobar disusul dengan ledakan keras beruntun.
Bukannya takut, para pemuda dan sebagian penduduk yang tadinya menyaksikan dengan ngeri dari kejauhan bersorak sorai. Benar-benar seperti pramuka menyaksikan api unggun yang baru menyala di bumi perkemahan.
Aku diuntungkan oleh pakaian santri (bajo koko, kain sarung dan kopiah hitam) yang kukenakan. Mereka yang mencegatku meminta bensin motorku dengan sedikit halus, “Mas, njaluk bensine tho...(Mas, minta bensinnya dong)..”
Dengan gemetar aku bilang, “Silahkan, tapi jangan banyak-banyak ya, mas.. ntar saya nggak bisa pulang ke pondok.”
Mereka lalu menarik selang bensin motor saya dan menuangkannya ke gayung. Benar, mereka tidak meminta banyak. Tak sampai setengah gayung, mereka lalu memasang kembali selang bensinku ke tempatnya.
Aku tergetar melihat showroom yang belakangan juga ikut dibakar. Dengan lutut yang makin lemas aku langsung menuju ke rumah Mbah Umi. Sepintas kulirik gedung kantor NU Solo di sebelahshowroom yang nampak lengang. Rentang jarak tembok utara kantor NU dengan dindingshowroom memberi ruang aman dari api. Tapi entah sampai kapan. Sementara kios Bensin eceran milik Pak Daroni, penjaga kantor NU, tampak telah kosong melompong. Entah telah habis dijarah massa atau kerana sempat diselamatkan terlebih dulu.
Melihat kedatanganku ibu lima anak itu tersenyum lega. “Untung kowe teko le.. aku wedi, ra ono wong lanang ning omah (Untung kamu datang, Nak. Aku takut, di rumah nggak ada lelaki),” kata ibu yang terkenal murah hati itu.
Tak lama kemudian Pak Amin, menantu Kiai Rozaq datang dengan mobilnya untuk mengevakuasi keluarga Bu Umi ke Al-Muayyad Mangkuyudan. Pak Amin bercerita, untuk sampai di kampung Jenengan, tempat Bu Umi tinggal, mobilnya harus keluar masuk gang-gang kampung, mengindari kerumunan amuk massa. Bersamaan dengan itu, datang pula pesan dari Kiai Rozaq, Rais Syuriyyah PCNU Solo waktu itu, agar sambil menunggui rumah bu Umi, kami juga menjaga kantor NU.
Aku, Jami’, Kholis, Albert, Matrohman dan Tulus pun berbagi giliran tugas menjaga kantor NU. Entah apa yang ada di pikiran kami waktu itu. Karena tak ingin terpisah jauh, kami pun memutuskan untuk berjaga bersama di depan laboratorium medis yang berdiri di antara Rumah Mbah Umi dan Kantor NU.
Kami menggelar tikar, lalu DDC (duduk-duduk cemas) sambil mengawasi kedua bangunan yang diamanahkan kepada kami. Tak lupa kami mencoret-coret pagar laboratorium itu dengan kata-kata “milik pribumi”, “milik umat islam” dan lain-lain. Bahkan aku sempat mencoretkan haikal Sulaiman seraya berdoa mudah-mudahan Allah menjaga bangunan ini dan –tentu saja-- rumah-rumah di sekitarnya. (Maafkan aksi vandalisme itu ya, Pak Pemilik)
Sesekali kerumunan warga dan pemuda yang berlarian membawa berbagai barang melintas di depan hidung kami. Sempat juga sekelompok pemuda berhenti di depan kami dan bertanya, “Laborate sopo iki, mas? (Laboratorium milik siapa ini, Mas).”
“Punya Bu Haji Umi Kulsum.. keluarga pesantren Al-Muayyad, Mas. Itu rumahnya..,” jawabku spontan sambil menunjuk rumah Bu Umi yang berdiri di sebelahnya. Sambil terus memandang gedung laborat yang mentereng itu mereka pun berlalu.
Karena terus menerus dalam kondisi tegang, beberapa jam kemudian kami tertidur kelelahan di atas tikar tempat kami berjaga, dua meter dari tepi ruas jalan Honggowongso. Entah berapa lama kami tertidur, yang jelas kami kemudian terbangun serentak karena kaget mendengar serentetan tembakan senapan mesin yang dilepaskan empat prajurit kopasus di atas mobil Jeep komando mereka yang melintas tepat di depan kami. Samar-samar kudengar teriakan ketakutan massa di sebelah selatan kami. Tak jauh dari kami pasukan baret merah itu kembali melepaskan tembakan ke udara. Rupanya mereka tengah menakut-nakuti para penjarah yang sedang membobol toko-toko di bagian selatan jalan Honggowongso.
Hatiku mencelos. Kami merepet ke tembok pagar laboratorium. Untung pasukan kebanggaan angkatan darat itu cuma lewat, bukannya menodongkan senapannya ke kami. Bukan apa-apa. Aku masih setengah trauma setelah selama beberapa minggu sebelumnya sering diacungi moncong senapan gas air mata saat ikut-ikutan demo di boulevard UNS bareng Henry Wicaksono, Alwan Jihadi dan kawan-kawan lain.
Alhamdulillah, setelah “diberondong” senapan oleh Kopassus, keadaan berangsur tenang. Tanpa sadar kami kembali tertidur. Kami baru terbangun beberapa jam kemudian dan langsung berkemas masuk ke dalam rumah Mbah Umi untuk shalat subuh dan meneruskan tidur.
Karena penasaran ia lalu mengajakku jalan-jalan keliling Solo, menyusuri jalan-jalan protokol. Dan benar, di sepanjang jalan Slamet Riyadi terlihat puluhan bangkai mobil yang sudah hangus. Kawasan Ngapeman dan Coyudan yang biasanya semarak dengan etalase toko-toko besar milik etnis Tionghoa kini seperti kota mati. Semuanya hangus.. semuanya hancur.. semuanya senyap.
Kami terus bersepeda sampai depan kampus UNS, sekedar memastikan bahwa tempat yang telah menjadi saksi gerakan reformasi di Solo itu tidak ikut dibakar. Pulangnya kami mencoba menyusuri jalur selatan Solo, melintasi Pasar Kliwon lalu masuk ke komplek keraton. Ternyata itu pilihan yang salah. Hampir dua jam kami harus berputar-putar mencari jalan tembus, karena semua mulut gang ditutup barikade warga yang semalaman ketakutan. Setelah melalui perjuangan yang cukup berat –karena kami naik sepeda onthel--, akhirnya kami sampai juga di gerbang Al-Muayyad, pesantren kami yang damai. Dengan tarikan nafas lega aku bersiap-siap menunaikan shalat Jumat.
Begitulah, satu babak dari drama berdarah Mei 1998 yang ikut aku saksikan di kota tempatku mengaji, Solo. Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa penduduk kota, yang terkenal sebagai pusaran budaya jawa yang adiluhung, itu akan bisa berubah menjadi sangat beringas dan ganas dalam seketika. Tak pernah terlintas di benak anak pesisir, yang biasa bicara kasar dan blak-blakan ini, bahwa di kota yang budi bahasa warganya terkenal sangat santun dan lemah lembut itu akan terjadi kerusuhan, penjarahan, pembunuhan dan –kalo benar yang dibilang orang— pemerkosaan massal yang brutal, dengan korban saudara sebangsanya sendiri. Sebuah kutukan keji yang harus dialami komunitas keturunan Tionghoa hanya karena mereka terlahir sebagai “etnis lain”.
Tapi itulah jagat manusia. Tak ada yang tak mungkin di sana... Huru-hara di Solo sebelas tahun lalu –yang terulang kembali setahun kemudian, ketika Megawati yang sangat digandrungi warga Solo kalah dalam Pilpres di Sidang Umum MPR 1999-- itu telah membuktikannya. (Kang Iftah, Mei 2009)
No comments:
Post a Comment